ads here

Catatan Penting Untuk Negeri, Buruknya Sarpras Pendidikan Butuh Solusi

advertise here

Harus kita akui bersama bahwa pendidikan negeri ini belum mampu alias gagal mewujudkan generasi berkualitas. Karena kualitas pendidikan sangat berkaitan erat dengan banyak faktor, misalnya kompetensi pengajarnya, kurikulumnya, termasuk sarana dan prasarana yang menunjang berlangsungnya proses belajar mengajar. Sementara jika ditilik dari satu faktor saja selain maraknya berbagai kasus yang terus menerus bermunculan seperti banyak anak yang putus sekolah, akses pendidikan minim, adalah banyaknya sekolah ambruk yang mengindikasikan buruknya infrastruktur sekolah dalam hal ini sarana prasarana pendidikan. Berkaitan dengan minimnya layanan sarpras pendidikan juga diungkapkan oleh komisi X Mujib Rohmat saat kunjungan kerja ke Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, diantaranya SDN 39 Sungai Kakap, SMPN 1 Sungai Kakap dan SMP Tunas Bangsa. Mujib menyampaikan kinerja Panja Sarpras membuktikan bahwa terlalu banyak sarpras pendidikan kita yang tidak layak dan tidak patut, serta tidak mendapat perhatian (Republika.co.id)

Kunjungan kerja tersebut membuahkan sebuah rekomendasi kepada pemerintah. Agar pemerintah memberikan satu kebijakan yang bersifat afirmatif, misalnya apakah nanti dalam bentuk Inpres untuk sarpras. Mujib juga merumuskan, dalam penggunaan Impres membutuhkan empat hingga lima tahun. Kalau menggunakan pendekatan biasa dapat memakan waktu hingga 20-25 tahun. Tentu waktu yang sangat lama sementara kerusakan sudah di depan mata. Apakah harus menunggu adanya korban sehingga pemerintah baru sigap. Bukankah banyak tragedi sekolah ambruk yang memakan puluhan korban di beberapa sekolah misalnya beberapa waktu yang lalu seperti dilansir dari Kompas.com, dua guru dan sebelas siswa mengalami luka-luka menyusul bangunan sekolah TK PKK III di Desa Putri, Kecamatan Paron, Ngawi roboh, kamis (2/2/2017). Terkesan lama dan kurang peduli padahal butuh untuk segera di solusi. Demikianlah pendidikan negeri ini tidak pernah tuntas dalam mensolusi sebuah masalah, karena sebagai konsekuensi penerapan sistem ekonomi liberal sehingga negeri-negeri muslim istilahnya ramai-ramai untuk melakukan privatisasi dan otonomi pendidikan. Sekolah didorong untuk mandiri membiayai sekolah sendiri, sementara posisi pemerintah hanya sebagai regulator semata.

Berbeda dengan kapitalis liberal, Islam memandang bahwa negara wajib menyediakan sarana dan prasarana terbaik yang mendukung terlaksananya pendidikan dengan baik dan berkualitas. Jaminan akses pendidikan bagi semua siswa, misalnya laboratorium, perpustakaan, gedung-gedung sekolah, kampus serta asrama bagi anak didik. Biaya pendidikan menjadi tanggungjawab negara sepenuhnya sebagai bentuk pelayanan negara kepada warga negaranya dengan tidak membedakan muslim ataupun non muslim, kaya atau miskin, semuanya mendapatkan hak yang sama. Sejarahpun mencatat kebijakan poara khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi warganya. Satu contoh pada era khilafah Ustmani, Sultan (Khalifah) Muhammad Al Fatih membangun delapan sekolah di Kostantinopel. Sekolah ini dilengkapi asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).

Pertanyaannya adalah dari mana negara Islam memperoleh dana sebesar itu untuk menjamin pendidikan seluruh warganya? Maka Islam punya sebuah solusi untuk pendanaan pendidikan termasuk mengatani minimnya sarpras pendidikan. Di dalam Islam sistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Baitul Mal. Dalam sejarah, pada masa khalifah Umar bin al-Khatab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan) berasal dari jizyah, kharaj dan usyur (Muhammad, 2002). Terdapat 2 sumber pendapatan baitul mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara seperti ghanimah, khumuus, jizyah dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan), sementara pos zakat tidak diperuntukkan pendidikan karena untuk delapan golongan mustahik zakat (Zallum, 1983; an-Nabhani, 1990).

Pertanyaan selanjutnya, mampukah kita sekarang ini melayakkan sarpras pendidikan bahkan menggratiskan pendidikan dengan potensi sumber-sumber pembiayaan saat ini? Jika kita melihat potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia maka sangat luar biasa besarnya. Kita memiliki sumber daya laut, pesisir yang sangat panjang, hutan, minyak bumi, gas, tambang emas, dan masih banyak lagi. Jika kekayaan alam itu dikelola secara mandiri oleh negara dan dikembalikan sebesar-besarnya kepada rakyat, tentu lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, bahkan lebih dari itu untuk menjamin kesehatan. Namun faktanya hari ini justru kekayaan alam itu diserahkan kepada asing dan asing cukup membayar pajak yang terbilang sangat murah. Misalnya di frreport, blok cepu, blok Mahakam, dsb.

Maka darinya jika negeri ini ingin maju dan mandiri, harus segera mengambil alih kekayaan alam yang dimiliki dan dikelola secara mandiri oleh negara karena kita pun sebenarnya memiliki sumber daya manusia yang ahli diberbagai bidang untuk mengelolanya. Tentu akan menjadi barokah jika pengelolaan dan pengaturannya dikembalikan kepada syariat Islam yang berasal dari Dzat yang maha sempurna yakni Allah SWT. Wallahu’alam bi ash-showab.

Penulis : Puput Hariyani, S.Si (Guru di salah satu sekolah di Jember)
Advertisement
BERIKAN KOMENTAR ()