- Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Ilham Bintang mengecam keras larangan siaran langsung sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
Ilham Bintang berpendapat, larangan siaran langsung pengadilan yang terbuka untuk umum selain merupakan pelecehan terhadap kemerdekaan pers, sekaligus juga bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang bebas, terbuka dan jujur.
"Dewan Kehormatan PWI Pusat menilai, pelarangan siaran langsung termasuk penghianatan terhadap semangat dan roh dari KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)," ujar Ilham dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com, Rabu (8/3).
Ilham mengingatkan, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam KUHAP, apabila sidang dinyatakan terbuka untuk umum, berarti masyarakat atau publik boleh dan dapat mengetahui apa yang terjadi dalam proses persidangan.
Menurutnya Filosofi dari sidang terbuka untuk umum agar pengadilan berjalan dengan fair dan adil, karena dapat disaksikan dan diawasi langsung oleh publik. Dalam hal ini pers ialah wakil dari publik yang tidak dapat datang ke sidang pengadilan.
"Menilai melarang pers melakukan siaran langsung sama saja dengan memasung hak publik untuk mengetahui apa yang terjadi dalam pesidangan, memberangus kemerdekan pers, dan justru dapat memicu jalannya sidang peradilan yang tidak fair dan tidak jujur," katanya.
Lebih lanjut dia menambahkan karena menyangkut nama tokoh dan pejabat penyelenggara negara, publik bisa curiga dan menduga-duga bahwa ada pengaturan hingga, sidang itu tidak boleh disiarkan secara langsung oleh televisi.
Padahal sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum, hanya sidang peradilan anak dan kasus-kasus asusila saja yang bersifat terutup dan tidak boleh disiarkan secara langsung. Hal ini karena untuk melindungi kepentingan anak-anak dan menghindari penyiaran kasus asusila menjadi konsumsi umum.
"Selebihnya Dewan Kehormatan PWI menegaskan seluruh sidang yang menurut KUHAP dinyatakan terbuka untuk umum, harus dapat disiarkan langsung," ungkapnya.
Terkait adanya kekhawatiran para saksi akan saling mempengaruhi jika sidang disiarkan langsung, sambung Ilham, seharusnya bukan persnya yang diberangus, tetapi terhadap para saksi yang harus diatur sedemikian rupa sehingga saksi satu dan lainnya tidak saling mengetahui.
"Maka yang diperlukan aturan mengenai para saksi dan bukannya membungkam kemerdekaan persnya dengan melarang siaran langsung," katanya.
Sebelumnya, Humas Pengadilan Tipikor Yohanes Priana mengatakan proses persidangan kasus dugaan korupsi e-KTP tahun 2011-2012 tidak akan disiarkan secara langsung oleh televisi.
Menurut Yohanes pelarangan siaran langsung tersebut sudah berdasarkan pada keputusan bernomor W10.U1/KP.01.1.17505XI.2016.01 tentang larangan Peliputan atau Penyiaran Persidangan secara langsung oleh media televisi di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kelas 1A Khusus.
Berkaca pada sidang kasus kopi bersianida terhadap terpidana Jessica Wongso yang disiarkan langsung oleh televisi, Yohanes khawatir hal itu aan mempengaruhi proses pemeriksaan antara satu saksi dengan saksi lainnya.
Rencananya, sidang perdana e-KTP pada Kamis (9/3) akan menghadirkan dua terdakwa, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman, dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen Sugiharto.
Keduanya sudah mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang membantu penegak hukum untuk membongkar perbuatan pidana.
Sidang dugaan korupsi e-KTP akan dipimpin oleh majelis hakim yan terdiri atas Jhon Halasan Butarbutar sebagai ketua, didampingi hakim anggota 1 Franky Tumbuwun, hakim anggota Emilia, hakim anggota 3 Anwar dan hakim anggota 4 Ansyori Syaifuddin. [jpc]
Ilham Bintang berpendapat, larangan siaran langsung pengadilan yang terbuka untuk umum selain merupakan pelecehan terhadap kemerdekaan pers, sekaligus juga bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang bebas, terbuka dan jujur.
"Dewan Kehormatan PWI Pusat menilai, pelarangan siaran langsung termasuk penghianatan terhadap semangat dan roh dari KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)," ujar Ilham dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com, Rabu (8/3).
Ilham mengingatkan, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam KUHAP, apabila sidang dinyatakan terbuka untuk umum, berarti masyarakat atau publik boleh dan dapat mengetahui apa yang terjadi dalam proses persidangan.
Menurutnya Filosofi dari sidang terbuka untuk umum agar pengadilan berjalan dengan fair dan adil, karena dapat disaksikan dan diawasi langsung oleh publik. Dalam hal ini pers ialah wakil dari publik yang tidak dapat datang ke sidang pengadilan.
"Menilai melarang pers melakukan siaran langsung sama saja dengan memasung hak publik untuk mengetahui apa yang terjadi dalam pesidangan, memberangus kemerdekan pers, dan justru dapat memicu jalannya sidang peradilan yang tidak fair dan tidak jujur," katanya.
Lebih lanjut dia menambahkan karena menyangkut nama tokoh dan pejabat penyelenggara negara, publik bisa curiga dan menduga-duga bahwa ada pengaturan hingga, sidang itu tidak boleh disiarkan secara langsung oleh televisi.
Padahal sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum, hanya sidang peradilan anak dan kasus-kasus asusila saja yang bersifat terutup dan tidak boleh disiarkan secara langsung. Hal ini karena untuk melindungi kepentingan anak-anak dan menghindari penyiaran kasus asusila menjadi konsumsi umum.
"Selebihnya Dewan Kehormatan PWI menegaskan seluruh sidang yang menurut KUHAP dinyatakan terbuka untuk umum, harus dapat disiarkan langsung," ungkapnya.
Terkait adanya kekhawatiran para saksi akan saling mempengaruhi jika sidang disiarkan langsung, sambung Ilham, seharusnya bukan persnya yang diberangus, tetapi terhadap para saksi yang harus diatur sedemikian rupa sehingga saksi satu dan lainnya tidak saling mengetahui.
"Maka yang diperlukan aturan mengenai para saksi dan bukannya membungkam kemerdekaan persnya dengan melarang siaran langsung," katanya.
Sebelumnya, Humas Pengadilan Tipikor Yohanes Priana mengatakan proses persidangan kasus dugaan korupsi e-KTP tahun 2011-2012 tidak akan disiarkan secara langsung oleh televisi.
Menurut Yohanes pelarangan siaran langsung tersebut sudah berdasarkan pada keputusan bernomor W10.U1/KP.01.1.17505XI.2016.01 tentang larangan Peliputan atau Penyiaran Persidangan secara langsung oleh media televisi di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kelas 1A Khusus.
Berkaca pada sidang kasus kopi bersianida terhadap terpidana Jessica Wongso yang disiarkan langsung oleh televisi, Yohanes khawatir hal itu aan mempengaruhi proses pemeriksaan antara satu saksi dengan saksi lainnya.
Rencananya, sidang perdana e-KTP pada Kamis (9/3) akan menghadirkan dua terdakwa, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman, dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen Sugiharto.
Keduanya sudah mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang membantu penegak hukum untuk membongkar perbuatan pidana.
Sidang dugaan korupsi e-KTP akan dipimpin oleh majelis hakim yan terdiri atas Jhon Halasan Butarbutar sebagai ketua, didampingi hakim anggota 1 Franky Tumbuwun, hakim anggota Emilia, hakim anggota 3 Anwar dan hakim anggota 4 Ansyori Syaifuddin. [jpc]
Advertisement