ads here

Generasi Kini Mati, Karena Demokrasi

advertise here

CERAMAH.INFO - Puluhan tahun silam Bung Karno pernah berkata, “Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh orang pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia!”

Perkataan Bung Karno tersebut merupakan gambaran tentang kedahsyatan pemuda sebagai agen perubahan. Tentu saja pemuda yang dimaksud adalah mereka yang berkualitas dan berprestasi. Sebab upaya melakukan perubahan memang tidak pernah bisa dilepaskan dari karakter kalangan muda. Daya imajinasi, kreasi, dan inovasi senantiasa melekat pada semangat generasi muda.

Namun, kalau para pemuda ternyata amoral dan bergaya hidup liberal, apakah akan mampu mewujudkan kemajuan bangsa? Pada faktanya, dari masa ke masa pemuda yang menjadi generasi pemimpin bangsa ini terus dihantam berbagai virus pemikiran dan budaya Barat. Saat ini pacaran, freesex, aborsi, narkoba, bahkan LGBT menjadi warna bagi kehidupan generasi masa kini. Hal ini membawa generasi pada keterpurukan dan kehancurannya.

Upaya perbaikan terus dilakukan, perubahan alias gonta-ganti kurikulum menjadi langkah praktis untuk memperbaiki moral dan karakter generasi. Saat ini, kurikulum pendidikan Indonesia sudah berganti 11 kali sejak tahun 1947 (www.brilio.net).  Kurikulum terakhir yang diterapkan adalah kurikulum 2013, yang bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, afektif, serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Apakah langkah ini membawa perbaikan?

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementrian Kesehatan pada Oktober 2013, sekitar 62,7% remaja Indonesia melakukan hubungan seks di luar nikah. Ini jauh dari data tahun 1980 yang hanya 5%, atau tahun 2000 yang 20%. Departemen Kesehatan RI mncatat bahwa setian tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja. Data dari Penelitian BNN dan Puslitkes UI memperkirakan sekitar 2,8% atau 5,1 juta orang Indonesia menjadi pecandu narkoba pada tahun 2015, ada kenaikan hampir dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir (tahun 2004 sebesar 1,75%). Dari jumlah tersebut, 22% di antaranya adalah pelajar.

Kasus LGBT yang tahun lalu ramai diperbincangkan, tak luput dari pemuda yang menjadi korbannya. Bahkan anak-anak pun tak terlewatkan. Sebuah akun Twitter @gaykids_botplg telah menggegerkan dunia maya. Sampai Januari 2016, pengikutnya sudah tembus 3.032 orang. Komunitas bocah ‘bau kencur’ ini mulai berani terang-terangan mempublikasikan diri mereka sebagai homo (www.metropolitan.id).

Bahkan para generasi di Jember yang terkenal dengan Kota Seribu Pesantren pun tak luput dari kasus ini. Dinas Kesehatan Jember menyatakan bahwa kasus HIV/AIDS karena homoseksualitas mencapai 214 buah, bahkan masuk ke kelompok usia lebih muda. Selain itu di tahun 2016, catatan di klinik VCT RSD dr. Soebandi menyebutkan bahwa di Jember terdapat sekitar 2700 penderita HIV/AIDS.

Langkah pemerintah untuk memutus rantai problematika generasi memang patut diapresiasi. Namun, kita pun perlu melihat pula hasil dari usaha tersebut. Jika dilihat dari fakta di atas, permasalahan generasi semakin lama bukannya berkurang tapi justru meningkat. Sehingga, upaya untuk mengatasi hal tesebut rupanya belum membuahkan hasil signifikan. Inilah yang perlu kita renungkan.


TELAAH AKAR MASALAH
Ibarat dokter yang sedang mendiagnosis pasiennya agar obat yang nantinya diberikan tepat, maka kita pun perlu ‘mendiagnosis sakit’ yang diderita para generasi. Permasalahan yang membelenggu generasi kita tak luput dari tiga faktor, yakni orang tua, masyarakat, dan negara. Orang tua berperan sebagai rujukan pertama dan utama bagi anak anaknya.  Orang tualah yang dituntut untuk menanamkan pendidikan keimanan, membangun ketaatan pada agama (hukum Allah), serta memberikan teladan kebaikan pada anak anaknya. Kondisi hari ini, para orang tua kurang menjalankan perannya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anaknya. Fenomena penitipan anak kepada neneknya, tetangganya, baby sitter, Tempat Penitipan Anak (TPA) menjadi pemandangan umum di sekitar kita. Akhirnya anak-anak tersebut menjadi sosok yang kurang perhatian, kasih sayang, ilmu, dan pendidikan.

Masyarakat sebagai salah satu sekolah besar bagi generasi berperan melakukan kontrol sosial untuk mencegah berbagai tindakan yang menyalahi norma dan agama. Tapi saat ini, masyarakat cenderung abai terhadap kondisi dan masalah yang terjadi. Betapapun banyaknya muda-mudi yang pacaran, freesex in the kost, generasi mati karena narkoba dan HIV/AIDS, bahkan pelaku LGBT, suara dari masyarakat kurang bahkan tidak terdengar.

Adapun negara adalah pihak yang berperan besar melindungi generasi, berwenang menerapkan berbagai kebijakan mulai dari politik, ekonomi, sosial, pendikan, dan sebagainya. Saat ini negara kita tengah menerapkan sistem  pendidikan sekular-materialistik. Secara kelembagaan, sekularisasi  pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan ‘agama’ di satu sisi dengan  pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama  melalui madrasah, institut agama dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah dan  kejuruan serta  perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan di sini justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekedar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek. Walhasil banyaknya generasi yang menempuh pendidikan di jenjang umum menjadi lulusan yang tidak menjdikan agama sebagai pedoman hidupnya. Tak heran jika mereka mudah melakukan hal-hal yang tak seharusnya.

Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler,  aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja  digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan Tuhannya saja.  Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk  tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik.

Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya  harus diraih. Ke sanalah dalam  musik, mode, makanan, film bahkan gaya hidup ala Barat, orang mengacu.  Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat  yang ada  memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Kebebasan individu harus ditegakkan karena menurutnya itu adalah hak, tidak peduli kendati itu harus melanggar tuntunan agama. Kehidupan yang sekularistik nyata-nyata  telah menjauhkan  manusia dari hakikat  visi dan misi penciptaannya.

Inilah akar persoalan yang selama ini membelit generasi. Bukan hanya soal kurikulum semata, bukan pula karena biaya saja, tapi kehidupan serba bebas buah dari demokrasi yang berasaskan sekuler. Kebebasan yang tanpa memandang agama tersebut menciptakan gaya hidup pemuda yang bablas. Besarnya potensi generasi yang mampu mengguncang dunia kini telah ‘mati’ karena demokrasi yanag menjauhkan generasi dari Ilahi. Jika ingin menyelamatkan generasi, maka butuh solusi fundamental untuk menuntaskan problematika hingga akarnya, yakni mengganti sistem sekuler-demokrasi yang menjauhkan manusia dari agama dengan sistem yang membuat manusia senantiasa tunduk pada agama. Sistem itu adalah sistem Islam, yang diterapkan melalui khilafah Islamiyyah. [Eka/KabarPos]



Ditulis Oleh :

Eka Kirti Anindita, S.Pd., Tim Lajnah Khusus Sekolah (LKS)  MHTI Jember, pengajar di SMK Inklusi Jember
Advertisement
BERIKAN KOMENTAR ()