Rakyat akhirnya tahu topeng kepalsuan penguasa demokrasi. Tanpa perlu mereka membuka buku-buku politik atau jurnal politik pun mereka paham. Fakta ini menunjukan bahwa rakyat kian sadar untuk terus mengikuti arus informasi hiruk pikuk politik di negeri ini. Tak ayal, obrolan seputar politik begitu unik dalam perbincangan di dunia nyata maupun maya. Pemberitaan yang heboh, meski terkadang ‘hoax’, rakyat terkesan mengiyakan dan membenarkannya.
Kasus usang yang sudah terkubur bertahun-tahun, berhasil dibongkar habis-habisan. Tak tanggung-tangung yang terseret bisa jadi pejabat ataupun mantan pejabat. Kasus korupsi begitu menarik sebagai pemukul lawan politik untuk pencitraburukan dan pengandangan dalam penjara. Hukum yang dipolitisasi berhasil dikendalikan penguasa. Penegakan hukum berkeadilan seperti menegakan benang basah. Masihkah ini bisa dipercaya dengan rayuan demokratisasi yang seolah disembah.
Pada masa kekinian, daya rusak politik demokrasi tampak jelas. Hijab-hijab yang awalnya manis menipu, kini terbuka wujud aslinya. Liberalisasi politik turut mendorong daya rusaknya kian hebat. Tidak hanya melukai hati nurani manusia, namun juga membunuh kepercayaan jutaan manusia pada sistem demokrasi yang rusak dan merusak. Fakta inilah yang seharusnya menjadi pelajaran penting bagi bangsa ini jika ingin memformulasikan gagasan baru keluar dari kemelut demokrasi.
Berikut akan dipaparkan beberapa daya rusak demokrasi yang telah meruntuhkan sendi kehidupan. Anomali dan sirkus demokrasi sering dimainkan oleh pelakunya sendiri. Rakyat yang menyaksikan harus mengangkat dua tangan salam ‘gigit jari’. Bagi yang berfikiran jernih, upaya reformasi demokrasi tak sekadar menambal sulam tapi harus mampu merevolusi dengan gagasan baru yang lebih manusiawi dan mewujudkan cita-cita bersama.
Demokrasi Tak Cocok bagi Manusia
Jusuf Kalla dalam pidatonya dalam penerimaan doctor honoris causa di Rajamangla University of Technology Isa Thailand, JK mengkritik konsep demokrasi ala Barat yang disebut tak cocok dengan Asia. “Kami mengakhiri berbagai konflik dengan memberikan akses yang adil terhadap sumber daya ekonomi dan pembagian kekuasaan yang lebih adil dalam politik lokal,”kata JK di Bangkok Thailand, Selasa (21/3/2017).
Asas demokrasi berupa kebebasan memang tidak cocok dalam pengaturan kehidupan manusia. Mendesain demokrasi dengan wajah yang berbeda—misalnya demokrasi Asia yang saling menghormati—sama halnya dengan menutupi kebohongan demokrasi. Pelaku politik dan politisi saat ini belum mampu keluar dari kotak pandora demokrasi. Sekuat tenaga mereka meyakini dan mempertahankan demokrasi mati-matian seolah itu sistem yang terbaik.
Saling menghormati dan musyawarah yang kerap digambarkan oleh pemimpi demokrasi, hanya sebagian kecil dari kelebihannya. Justru yang banyak malah kerusakannya. Pelaku demokrasi sendiri sering menampilkan wajah tak demokratis dan jauh dari idelitas ide-idenya.
Hal yang harus difahami bahwa musyawarah dan menghormati merupakan asasi kebutuhan manusia. Tak bisa manusia hidup sendiri-sendiri tanpa musyawarah dan menghormati. Jadi sangat naif tatkala ada penyamaan demokrasi dengan Islam atau demokrasi dengan lainnya. Mengingat perbedaan demokrasi dan lainnya sangat jauh berbeda banyak.
Demokrasi memang tidak cocok diterapkan untuk manusia. Berdasarkan fakta kemunculan demokrasi yang mengambil konsep kota di Yunani yang dihuni beberapa penduduk, memang mampu diaplikasikan dalam penyuaraan suara rakyat. Tatkala konsep itu diterapkan dalam jumlah besar, demokrasi sudah tidak cocok. Hal ini dikarenakan konsep demokrasi tak mampu menyatukan individu dengan individu dan individu dengan penguasanya. Meski muncul konsep perwakilan untuk duduk dalam suatu majelis rakyat, nyatanya suara rakyat kerap tergadaikan. Suara tinggal suara, yang ada derita berkepanjangan bagi rakyat yang memilihnya.
Belum lagi konsep kehidupan dalam tataran demokrasi yang menoleransi beragam kerusakan sosial. Semisal LGBT, prostitusi, minuman keras, narkoba, dan kerusakan lainnya. Agar itu semua bisa esksis di tengah kehidupan, dibuatlah UU untuk melegalkan aktifitasnya. Apa daya katanya ingin memberikan sejahterah, justru kehinaan dan kerusakan moral didapatnya. Tidakkah ini disadari oleh semuanya?
Ujung dari demokrasi ini adalah pelembagaan kebebasan bagi individu untuk berbuat semaunya. Aturan dan UU hanyalah mekanisme untuk mengokohkan kegiatannya. Negara begitu abai dan mengabaikannya. Fungsi negara sebagai pelindung pun hilang dan tak mampu mewujudkan kehidupan yang baik bagi manusia. Karena itu, demokrasi seperti hukum rimba dan tidak cocok bagi kehidupan manusia.
Demokrasi Suburkan Korupsi
Ada adagium unik yang mengelitik. Kerjanya rapat dan kunjungan, hobinya korupsi. Siapakah dia? Bahkan ada lelucon imajiner dalam percakapan yang mengocok perut. Tatkala ada seseorang masuk surga dia bertanya kepada malaikat: “mengapa banyak anggota DPR yang masuk surga?” Si malaikat itu pun menjawab: ”mereka sedang ‘study banding’ besok pun mereka kembali ke neraka!”
Tanpa menunjuk hidung dan memang tidak bisa dipukul rata, daya rusak demokrasi begitu besar. Korupsi menjadi-jadi. Penipuan rakyat menjadi hobi. Kerakusan kuasa menjadi daya pikat. Berlindung di balik hukum demi menyelamatkan muka biasa dilakukannya.
Rakyat tidak akan pernah memaafkan dosa ‘korupsi’ penguasa dan elit politik. Bisa jadi tatkala di hari pembalasan nanti, satu persatu rakyat datang menuntut hingga dosa-dosa rakyat itu dipikulnya. Naudzubillahi min dzalik. Tidakkah mereka yang pernah, sedang, dan akan berkuasa berfikir jauh ke depan?
Jargon demi ‘kesejahteraan rakyat’ dalam beragam proyek menjadi modus untuk merampok uang rakyat. Legal atau ilegal, praktek itu sudah jamak bahkan menjadi lingkaran setan. Kasus korupsi E-KTP menjadi E-Korupsi bagi pejabat dan anggota dewan. Seperti mencoreng muka sendiri, mereka satu per satu berkelit mencuci muka hitamnya. Bisa dipastikan proyek digitalisasi ke metode elektronik, semisal e Warung, e-Budgeting, atau lainnya tak akan mampu memutus mata rantai ‘penyakit korupsi’.
Tak hanya korupsi E-KTP, kepala daerah pun terseret harus berurusan dengan KPK. Setelah pemeriksaan dan penyelidikan, aset-aset mereka melimpah ruah. Sementara itu rakyatnya masih bergelimang dalam kemiskinan seperti laporan tahunan Badan Pusat Statistik (BPS). Tidakkah mereka malu berbuat seperti itu. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Sepandai-pandai mereka menutup rapat kejahatannya, akhirnya pun terungkap juga. Gusti Allah mboten sare.
Demokrasi menumbuh-suburkan korupsi tatkala dalam kontestasi setiap pergantian anggota dewan dan pemimpin dibuat dalam model liberalisasi politik. Biaya mahal proses penyelenggaraan dan pembiayaan calon, akhirnya menendekan akal pikiran untuk balik modal. Kepalsuan demi kepalsuan terus saja dimainkan. Demokrasi mengharamkan yang, dan menghalalkan yang haram. Korupsi seolah halal asal sesua aturan. Aneh (Bersambung.....)
Penulis : Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)
Advertisement