ads here

Ustadz Choirul Anam : Berbeda jauh Antara Berdalil dengan Berdalih

advertise here


 - Jika seseorang tidak suka pada sesuatu, apa pun itu, ia pasti akan menemukan seribu-satu dalih atas keditak-sukaannya. Sebaliknya, jika seseorang telah menyukai sesuatu, ia pun akan menemukan seribu-satu dalih untuk menjustifikasi sikapnya.

Namun, dalih itu beda dengan dalil atau bukti. Dalih itu dicari setelah kita memiliki sikap, yaitu untuk menjustifikasi sikap kita. Sementara dalil dicari untuk mencari kebenaran dan untuk menentukan sikap kita.

Jadi, dalih itu mengikuti sikap, sementara dalil diikuti sikap. Dalih itu untuk mencari pembenaran, sementara dalil untuk mencari kebenaran.

Meski demikian, pencarian dan penghayatan dalil terkadang butuh proses panjang, butuh perenungan mendalam, perdebatan dalam diri, benturan dengan pemahaman lama, melewati masa-masa penuh kebimbangan dan lain sebagainya.

Saya sendiri mengalami proses panjang itu, dan mungkin akan terus berproses hingga saatnya kembali kepada Allah swt.

Alhamdulillah, saya dididik di lingkungan keluarga khas Nahdliyyin, dan sekolah di Madrasah Salafiyah NU dari MI hingga MA. Dari sana, kultur Nahdliyyin dan pemahaman khas ahlus sunnah wal-jamaah (aswaja) mengalir dalam darah saya. Tentu saja, pemahaman saya masih sangat rendah, banyak hal yang saya tidak mampu hayati dan saya amalkan dengan baik. Hal itu semata-mata karena kebodohan dan kenaifan saya sebagai orang biasa dengan kemampuan yang juga biasa-biasa saja.

Madrasah saya, menurut saya adalah Madrasah NU Salafiyah Perlawanan. Di madrasah tersebut, segala sesuatu yang “berbau” Belanda atau penjajah lainnya dihindari sejauh-jauhnya, termasuk menjilat kepada penguasa. Tidak ada penyambutan pejabat. Tidak ada upacara bendera. Tidak ada lagu-lagu pengobar nasionalisme. Tidak ada foto presiden dan wakilnya, dan juga gambar-gambar lambang negara. Yang ada hanya al-qur’an, as-sunnah, dan kitab-kitab tsaqofah Islam warisan para ulama ahlus sunnah wal jamaah. Kebanggaan kita adalah menghafal al-qur’an, alfiyah ibnu malik, atau kitab-kitab ulama lainnya.

Saat sekolah, kita semua memakai peci dan celana panjang, dan para masyayikh memakai sarung. Bahkan sebagian syeikh berpendapat bahwa memakai celana itu haram, alasannya karena menyerupai Belanda. Dalilnya, “man tasabbaha bi qoumin fa huwa minhum (siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum itu)”. 

Bahkan, mengikuti ujian nasional, menurut syeikh saya, itu haram. Alasanya sama, yaitu ujian nasional dibuat oleh orang kafir. (Tentu saja, tidak semuanya saya setujui. Ada beberapa hal yang saya juga kurang sepakat, meski saya sebagai santri tetap menaruh rasa hormat dan takdzim kepada beliau-beliau). 

Sikapnya jelas, yang haram ya haram, yang waib ya wajib, meski semua itu beresiko berhadapan dengan aparat dan penguasa. Memang di madrasah ada dua haluan besar yang diikuti masyayikh, "syariah" dan "tasawuf". Ulama dengan haluan "taswuf" sikapnya cenderung lebih toleran dan adaptif, dibanding ulama dengan haluan "syariah".

Saat kuliah, saya bertemu dengan organisasi lain, seperti Salafy, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir. Salafy adalah pertemuan pertama saya dengan organisasi Islam (meski para aktivisnya tidak ada yang mau di sebut sebagai organisasi) di kampus. Saat itu, saya diajak kajian oleh aktivis Salafy tentang bid’ah. 

Pemahaman ini serta merta berbeda dengan pemahaman saya sejak kecil, dimana saya diajarkan untuk tidak mudah membid’ahkan orang. Saya merasa tidak cocok dan tidak mau ikut kajian untuk yang kedua kalinya. Selanjutnya, saya mengikuti mentoring yang diisi oleh murabbi dari Jamaah Ikhwanul Muslimin. Namun, kajian itu tidak berlangsung lama. 

Secara umum tidak ada pertentangan sama sekali dengan pemahaman lama saya. Hanya saja, saya merasa seperti anak kecil lagi, karena isi kajiannya memang sangat dasar dengan penjelasan yang sangat standar.

Sampai akhirnya, saya bertemu dengan Hizbut Tahrir. Sebetulnya, secara konsep, saya merasa tidak ada yang berbeda dengan pemahaman lama saya. Terus terang, pada saat itu, ada semacam ketakutan, curiga, dan sikap-sikap negatif lainnya kepada HT. Namun, ada satu hal yang membuat saya sangat simpati, yaitu kesungguhan mereka dalam berdakwah. Seoarang aktivis HT yang satu kos dengan saya, sering pulang larut malam untuk berdakwah tanpa imbalan sepeser pun.

Pada saat saya awal kenalan dengan HT, saya juga bertemu dengan NII. Singkat cerita, terjadi diskusi dan perdebatan di kamar kos, dan menurut saya Ustadz NII ini pemahamannya sangat dangkal dan sangat mudah dipatahkan. Setelah pertemuan pertama, dia berjanji mau ngajak diskusi lagi, tetapi diskusi kedua itu seja hampir 20 tahun lalu tidak terjadi lagi hingga detik ini.

Hal yang sama sebetulnya terjadi dengan aktivis HT. Bedanya, meskipun aktivis HT tidak pernah memenangkan debat dengan saya (menurut saya), tetapi ia selalu datang lagi untuk diskusi berikutnya sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.

Terus terang, pada saat itu, terlalu banyak hal yang saya harus berkeberatan dengan konsep HT, mulai dari aspek teologis, empiris, maupun sosiologis.

Secara teologis, saat itu saya sangat keberatan dengan pemahaman qodlo dan qodar dalam kitab Nidzomul Islam dan juga pemahaman tentang hadits ahad, dan lain-lain. Sedangkan tentang konsep Khilafah, meski konsep ini tidak bertentangan dengan pemahaman NU karena kitab-kitab rujukan NU juga bicara Khilafah, namun banyak hal yang membuat saya sangat keberatan. Terus terang ada ratusan bahkan ribuan masalah yang membuat saya sangat keberatan. Diantaranya:

1. Memperjuangkan Khilafah bererati bertentangan dengan pancasila, NKRI, UUD 45 dan binneka tuggal ika.

2. Memperjuangkan Khilafah berarti mengkhianati perjuangan para ulama yang dulu berjuang untuk mengusir penjajah.

3. Umat Islam berbeda-beda pemahaman, kalau mau Khilafah pertanyaannya Khilafah yang mana? Mengikuti madzhab apa? Umat Islam yang pegang kekuasaan di tanah hijaz saja, galaknya seperti itu kepada umat Islam yang lain. Khilafah mungkin akan seperti itu bahkan lebih sadis.

4. Bagaimana konsep Khilafah yang real untuk mengatasi masalah-masalah publik? Memangnya Islam pernah mengajarkan itu? Jika iya, mengapa saya yang lama bergelut dengan kitab kuning tidak tahu itu?

5. Bukankah Khilafah akan sangat mudah disalah-gunakan orang untuk kepentingan diri dan kelompoknya dengan mengatas-namakan sebagai Khilafah?

6. Bagaimana dengan non muslim, apakah mereka dipaksa keluar (diusir) jika Khilafah berhasil ditegakkan.

7. Memperjuangkan Khilafah berarti berlepaskan diri dari ketaatan kepada ulil amri, padahal ketaatan kepada ulil amri itu wajib. Bahkan memperjuangkan Khilafah mungkin hanya sebutan lain dari memberontak pemerintahan yang sah.

8. Dalam sejarah Khilafah banyak konflik berdarah-darah. Konsep demokrasi yang mengedepankan perbedaan pendapat tampaknya lebih baik.

9. Bagaimana bisa umat Islam bersatu, wong urusan remeh temeh seperti masalah qunut saja, jadi masalah berpuluh-puluh tahun yang tak bisa diselesaikan.

Dan masih ada ribuan pertanyaan lain yang menggelayut di pikiran saya. Terus terang, jawaban aktivis HT pada saat itu juga tidak memuaskan saya. Aktivis HT hanya cenderung menjawab dengan normatif, itu pun dengan argumentasi dan penguasaan tsaqofah (yang maaf) sangat minim. Itu hal yang sebenarnya harus saya maklumi, karena kebanyakan aktivis yang saya temuI saat itu, memang baru belajar Islam semenjak kuliah.

Namun saya harus bersikap adil, kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa HT hanyalah sekedar diwakili oleh aktivisnya yang kita temui. Sama persis dengan organisasi lain, seperti NU, PKS, dan lain-lain. Bisa jadi orang yang kita temui, bukan orang yang benar-benar memahami gagasan organisasinya secara utuh dan komprehensif.

Diskusi dan kebimbangan itu berlangsung hingga sekitar dua tahun. Sedikit demi sedikit saya berusaha mencari jawabannya sendiri, di kitab-kitab HT (karya Syeikh Taqiyuddin) dan di kitab-kitab para ulama mu’tabaroh serta di buku-buku para filosof.

Alhamdulillah, beberapa pertanyaan itu satu persatu saya temukan jawabannya. Itu butuh waktu yang sangat lama. Sebab, saat satu pertanyaan terjawab, masih ada ribuan pertanyaan lain yang antri di belakang. 

Namun, akhirnya saya cukup puas dengan jawaban-jawaban yang saya temukan. HT ternyata memiliki konsep yang sangat-sangat mendalam dalam menyatukan umat dan menegakkan Khilafah. Menurut saya, HT sama dengan NU yang sama-sama bicara Khilafah. Hanya saja gagasannya tentang Khilafah dan metode penegakannya tampak lebih jelas untuk zaman sekarang. Selama berinteraksi, saya baru meraskan bahwa HT melakukan semua itu, murni untuk kebaikan umat Islam pada khususnya dan umat Islam pada umumnya. 

HT dan aktivisnya tidak memiliki ambisi pribadi atau kelompok. HT mendorong umat untuk mencintai bangsanya secara tulus, bekerja untuk kebaikan bangsanya, yaitu dengan menerapkan syariah secara konsisten dan terkontrol. Namun, HT memang mendorong agar umat menjauhakn nasionalisme. Cinta tanah air tapi menolak nasionalisme, memang terkesan paradoks, namun hal itu bukan sesuatu yang paradoks jika kita menghayatinya. Butuh beberapa buku untuk membahas ini dengan agak lengkap.

Itu menurut saya, setelah mengkaji dan memonitor HT secara seksama. Namun, kesimpulan saya bisa jadi berbeda dengan kesimpulan orang lain. Itu sesuatu yang wajar. Kesalah-pahaman dan sikap paranoid saya memang didorong oleh kekurang-pahaman, tetapi menurut saya itu hal yang sangat normal bagi orang yang sedang menghadapi hal baru di dalam hidup ini.

Berbagai pertanyaan yang pernah mengganggu pikiran saya dan juga jawabannya, dikemudian hari saya bukukan, yaitu dengan judul: “Cinta Indonesia, Rindu Khilafah: Membahas tema-tema sensitif dan krusial tentang keislaman, kekhilafahan, dan keindonesiaan”. Jika ada diantara Anda pernah membaca buku tersebut, Anda akan bertemu dengan pertanyaan-pertanyaan sensitif tentang kekhilafahan dan keindonesiaan. Buku itu bukan untuk mengajari atau menggurui siapapun. Buku itu hanyalah berisi kecamuk pemikiran saya dan jawaban yang berhasil saya temukan. Bagi Anda yang mengalami kecamuk pemikiran seperti saya, sepertinya buku tersebut dapat dijadikan teman untuk bercengkrama dan berbagi pengalaman.

Sementara tentang pemahaman teologis HT yang pernah saya permasalahkan lalu saya temukan jawabannya, kemudian saya tulis dalam buku dengan judul: “Kesesatan dan bahaya HT: opini atau realitas”. Buku tersebut hingga sekarang belum terbit, tetapi insya Allah akan hadir dalam waktu yang tidak terlalu lama. Jika Anda pernah seperti saya, insya Allah buku ini akan jadi teman dialog yang berimbang.

Terus terang, sebenarnya saya mungkin mirip dengan anak-anak muda lainnya yang pada awalnya tak habis pikir dengan HT. Jika saat ini ada anak muda yang menulis buku: “HT gagal paham Khilafah”, itu “gue banget”. Itu mirip saya. Itulah jiwa saya melihat sesuatu yang tampak belum jelas, tetapi dibela mati-matian dan disuarakan oleh anak-anak muda secara lantang, kelihatannya sangat bersemangat tetapi hanya dengan modal emosi dan darah muda.

Bedanya, saya cenderung memilih diam dan mencari tahu hingga memahami duduk masalahnya secara jelas, dan baru menuliskannya setelah semua tampak jelas (tetu saja jelas menurut saya, mungkin sangat tidak jelas menurut lainnya), sementara penulis buku “HT gagal paham Khilafah” mungkin menulis pikirannya saat masih dalam tahap pencariannya.

Sejak mendengar buku tersebut di media sosial, tidak terbersit sedikit pun untuk menanggapinya. Sebab, itu hanya gejolak anak muda, persis seperti yang saya alami dahulu. Hingga akhirnya banyak link tentangnya yang dikirim ke saya agar saya memberi tanggapan. Di sini saya tidak menanggapi buku tersebut, saya lebih senang bercerita tentang diri saya. Jika ini patut dianggap tanggapan, silahkan dianggap demikian. Jika memang tidak layak dianggap tanggapan, saya memang tidak bermaksud menanggapinya.

Terus terang, jika hanya berdasarkan dalih, apalagi sponsor, saya bisa menulis beribu-ribu halaman tentang kesalahan dan kesesatan HT. Bukan hanya HT, saya pun bisa menulis beribu-ribu kesalahan dan kesesatan NU, PKS, Salafy, atau lainnya. Tapi untuk apa semua itu dilakukan?

Itu tidak ada manfaatnya bagi saya, umat Islam dan juga bangsa ini. Saya lebih suka menulis alasan pilihan hidup saya, daripada alasan pilihan hidup orang lain.

Dalih itu bisa dicari. Semua bisa diputar-balikkan. Perdebatan bisa kita menangkan. Dada bisa kita busungkan. Tapi apa yang kita dapat, jika jalan hidup kita masih terasa kelam. Apa gunanya kita melantunkan senandung terhebat dan kita anggap final, jika dengan semua itu, masyarakat kita tetap hidup dalam kemiskinan, kebodohan, penjajahan, dan penipuan tiada akhir. Apa gunanya, kita pandai menyalahkan pilihan orang, tetapi alasan jalan hidup kita tetap tidak terjawab oleh kita sendiri.

Wallahu a’lam.

Oleh : Ustadz Choirul Anam (Dosen Undip, Penulis buku Cinta Indonesia Rindu Khilafah)
Advertisement
BERIKAN KOMENTAR ()